Dienul Islam adalah satu-satunya dien (tatanan kehidupan) yang diakui Allah, yang ditegakkan dan dibangun para Rosul-Nya berdasarkan...
Dienul Islam adalah satu-satunya dien (tatanan kehidupan) yang diakui Allah, yang ditegakkan dan dibangun para Rosul-Nya berdasarkan Dienullah. Sedangkan Dienullah itu sendiri adalah suatu konsep atau sistem kehidupan semesta yang murni “produk” Allah (Kalimatullah, Kalimah Thoyyibah) yang sempurna dan abadi, tak pernah terjadi perubahan padanya. Tidak ada sedikitpun campur tangan manusia terhadapnya. Kalaupun terjadi manusia campur tangan terhadapnya, Allah menyebutnya sebagai “iftiro” (mengada-ada) atau kebohongan, suatu tindakan mencampuri urusan Allah, menandingi Allah atau membuat kepalsuan (yakdzibuun).
Adapun yang disebut “budaya” atau “kebudayaan” dan “peradaban” adalah produk manusia, berupa segala tindakan, perbuatan dan perilaku manusia yang muncul dari proses yang terjadi pada jiwanya, yakni rasa, karsa dan cipta (perasaan, keinginan dan pikiran) manusia, dan segala wujud yang dihasilkan dari perbuatannya itu.
Proses yang terjadi pada jiwa manusia tersebut, secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut:
Dari apa yang ditangkap oleh indra manusia, ia akan merasakan berbagai hal pada dirinya. Ada hal yang baik dan menyenangkan, dan ada pula hal yang buruk dan tidak menyenangkan. Dengan kata lain unsur rasa pada jiwanya segera bereaksi dan berfungsi.
Ketika seseorang merasakan hal-hal yang buruk dan tidak menyenangkan, misalnya perasaan marah, benci, muak, sakit, sedih, iba, kasihan dan sebagainya, maka akan segera tergerak keinginan atau kehendak pada dirinya agar hal tersebut segera sirna dan tidak dirasakan lagi, berubah atau berganti dengan sesuatu yang baik dan menyenangkan.
Sebaliknya ketika seseorang merasakan hal yang baik dan menyenangkan, misalnya kenyamanan, gembira, cinta, bangga, dan sebagainya, maka ia cenderung berkeinginan untuk terus atau kembali merasakannya bahkan kemudian muncul keinginan untuk merasakan hal yang lebih baik dan menyenangkan lagi.
Untuk dapat memenuhi tuntutan keinginan atau karsanya itu, yakni untuk menghindari segala hal yang buruk dan tidak menyenangkan, kemudian memperoleh hal yang baik dan lebih baik lagi, maka berfungsilah akal dan pikirannya (cipta), untuk mencari, memilih dan menentukan (ikhtiar) perbuatan dan usaha (karya) yang akan dilakukannya.
Proses seperti tersebut di atas tadi adalah bersifat universal, berlaku pada setiap dan seluruh manusia normal, kapanpun dan di manapun ia hidup. Dengan kata lain, itu adalah fitrah manusia. Dengan memiliki sifat dan tabiat yang universal seperti itulah manusia diciptakan Allah yang Rahman Rahiem, dan berdasarkan fitranya jugalah manusia akan mengembangkan berbagai karya dan usaha, yang kemudian melahirkan budaya dan peradaban.
Seperti urain terdahulu tentang essensi amanah, bahwa tanpa perintah yang nyata dan eksplisit dari Allah, dengan kecenderungan manusia berbuat menurut fitrahnya, akan tergelarlah program dan amanah (missi) dari Allah bagi manusia.
Namun di sisi lain, sebagaimana yang Allah tegaskan bahwa manusia itu amat dholim dan amat bodoh. Wawasan dan kemampuan pengamatan dan penalarannya penuh keterbatasan dan kelemahan. Sehingga seringkali terjadi, atau amat kuat kecenderungaannya, bahwa perbuatan yang mereka pilih dan lakukan, yang dimaksudkan untuk menghasilkan sesuatu yang akan menyenangkan dan mereka nikmati, tanpa mereka sadari justru akan menghasilkan atau berdampak pada terjadinya hal-hal yang buruk, yang sebenarnya tidak mereka sukai dan ingin mereka hindari.
Dalam mengembangkan aktivitas hidup dan amal usahanya, manusia akan dihadapkan kepada berbagai pilihan menyangkut bentuk-bentuk dan cara yang akan ditempuh serta budaya dan etos kerja yang harus dikembangkan, juga menyangkut benturan atau silang berbagai kepentingan. Keadaan ini cukup rentan terhadap munculnya perselisihan yang akan melemahkan atau penyimpangan arah dari missi risalah dan essensi amanah, yang pada dasarnya akan merugikan manusia itu sendiri.
Maka untuk itu, bimbingan dan petunjuk Allah yang diturunkan berdasarkan asma-Nya yang Rahman Rahim, harus termanifestasikan sebagai suatu sistem kontrol (kendali), yang untuk itu mutlak diperlukan suatu struktur kelembagaan yang sah (legitimate), rapi dan efektif, dimana sistem kontrol (kendali) samawi (“I`tishom bi hablillah”) dikembangkan.
Tentang hal ini, di dalam Al Quran Allah telah cukup memberi petunjuk dan arahan yang amat jelas dan qoth’i, dimana satu-satunya sistem kelembagaan yang mendapat legitimasi di sisi Allah dalam konteks amanah-Nya ini, hanyalah suatu sistem Robbani yang eksis di bumi sebagai “Ummatan Wahidah” dibawah pimpinan para Rosul. Keseluruhan sistem dari tatanan kehidupan yang mereka bangun itulah “Dienul Islam”.
Dengan demikian, Dienul Islam adalah suatu tatanan peradaban yang ditegakkan dan dibangun para Rosul bersama pengikutnya, berdasarkan Dienullah. Atau lebih tepatnya, peradaban yang ditumbuhkan dari “benih” Dienullah (Kalimah Thoyyibah). (Dengan kata “tumbuh” -semisal pohon- jelas sekali dimana peranan Allah dan peranan manusia).
Tapi kemudian manusia mengingkari sitem risalah Robbani ini, atau mengubah dan merusaknya atau menggantinya dengan berbagai sistem lain produk filsafat atau persangkaan mereka, yang dalam pandangan Allah tidak lain hanyalah “mengikuti hawa nafsu mereka”.
Coba kita simak beberapa ayat dari Kalamullah berikut ini:
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلرُّسُلُ كُلُواْ مِنَ ٱلطَّيِّبَـٰتِ وَٱعۡمَلُواْ صَـٰلِحًاۖ إِنِّى بِمَا تَعۡمَلُونَ عَلِيمٌ۬ (٥١) وَإِنَّ هَـٰذِهِۦۤ أُمَّتُكُمۡ أُمَّةً۬ وَٲحِدَةً۬ وَأَنَا۟ رَبُّڪُمۡ فَٱتَّقُونِ (٥٢) فَتَقَطَّعُوٓاْ أَمۡرَهُم بَيۡنَہُمۡ زُبُرً۬اۖ كُلُّ حِزۡبِۭ بِمَا لَدَيۡہِمۡ فَرِحُونَ (٥٣) فَذَرۡهُمۡ فِى غَمۡرَتِهِمۡ حَتَّىٰ حِينٍ
"Hai Rosul-rosul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan bekerjalah yang sholeh (secara professional). Sesungguhnya tentang apa yang kalian kerjakan sungguh Aku sangat mengetahui. Dan sesungguhnya ini adalah ummat kalian semua, ummat yang satu, dan Aku adalah Tuhan kalian semua, maka bertaqwalah kepadaku.
Lalu mereka (ummatnya para rosul itu) mempereteli urusan mereka menjadi pecahan-pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga akan apa yang ada pada mereka. Maka biarkan saja mereka dalam kesesatannya sampai suatu waktu. (Al Mukminun : 51-54)
رَبَّنَا وَٱبۡعَثۡ فِيهِمۡ رَسُولاً۬ مِّنۡہُمۡ يَتۡلُواْ عَلَيۡہِمۡ ءَايَـٰتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلۡكِتَـٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ وَيُزَكِّيہِمۡۚ إِنَّكَ أَنتَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَكِيمُ
"Ya Tuhan kami, bangkitkanlah (munculkanlah) di tengah mereka seorang rosul dari kalangan mereka yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan hikmah serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (Al Baqoroh : 129)
وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِى ڪُلِّ أُمَّةٍ۬ رَّسُولاً أَنِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُواْ ٱلطَّـٰغُوتَۖ فَمِنۡهُم مَّنۡ هَدَى ٱللَّهُ وَمِنۡهُم مَّنۡ حَقَّتۡ عَلَيۡهِ ٱلضَّلَـٰلَةُۚ فَسِيرُواْ فِى ٱلۡأَرۡضِ فَٱنظُرُواْ كَيۡفَ كَانَ عَـٰقِبَةُ ٱلۡمُكَذِّبِينَ
"Dan sungguh telah Kami bangkitkan disetiap ummat seorang Rosul agar: “Mengabdilah kepada Allah saja dan jauhilah thoghuut”. Lalu diantara mereka itu ada orang yang diberi petunjuk, dan diantara mereka ada pula yang telah pantas kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi lalu perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (kerasulan itu)". (An Nahl : 36)
هُوَ ٱلَّذِى بَعَثَ فِى ٱلۡأُمِّيِّـۧنَ رَسُولاً۬ مِّنۡہُمۡ يَتۡلُواْ عَلَيۡہِمۡ ءَايَـٰتِهِۦ وَيُزَكِّيہِمۡ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلۡكِتَـٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبۡلُ لَفِى ضَلَـٰلٍ۬ مُّبِينٍ۬ (٢) وَءَاخَرِينَ مِنۡہُمۡ لَمَّا يَلۡحَقُواْ بِہِمۡۚ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَكِيمُ
"Dialah yang telah membangkitkan dikalangan kaum yang ummi seorang rosul dari kalangan mereka, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, dan mesucikan mereka serta mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Hikmah. Dan keadaan mereka sebelum itu benar-benar dalam kesesatan yang nyata. Dan (membangkitkan juga) dikalangan ummi lainnya yang belum bersua dengan mereka. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (Al Jumu’ah : 2-3)
أَفَكُلَّمَا جَآءَكُمۡ رَسُولُۢ بِمَا لَا تَہۡوَىٰٓ أَنفُسُكُمُ ٱسۡتَكۡبَرۡتُمۡ فَفَرِيقً۬ا كَذَّبۡتُمۡ وَفَرِيقً۬ا تَقۡتُلُونَ...
"...Apakah setiap datang kepadamu seorang Rosul dengan membawa sesuatu yang menyalahi hawa nafsumu spontan kamu menyombong, lalu sebagian mereka kamu dustakan, dan sebagian lain kamu perangi". (Al Baqoroh : 87)
Seiring dengan pudarnya sistem kerasulan pasca Nabi Muhammad dan berganti dengan sistem lain hasil rekayasa manusia, terjadi pula kerancuan dan kekaburan visi dan pengertian tentang “Dienul Islam” dan “Budaya/Peradaban Islam”. Apa yang sebenarnya merupakan elemen-elemen budaya pada Dienul Islam, dipandang dan dipasang permanen sebagai elemen-elemen Dienullah yang mutlak dan abadi.
Segala yang tampil dan dihasilkan dari perilaku manusia melalui proses atau aktivitas jiwanya (rasa, karsa dan ciptanya), itu adalah budaya. Siapapun manusia itu, termasuk para Rosul. Rosul adalah manusia seutuhnya, manusia biasa yang jiwanya berkualitas tinggi. Bukan Tuhan yang bersifat mutlak dan universal, dan bukan pula sekedar robot atau proyektor yang tidak berjiwa, yang Allah gunakan sekedar untuk menayangkan karya-Nya. Allah “hanya” menyediakan “benih” berupa ayat-ayat-Nya, serta Ruh yang menghidupkan dan menumbuhkannya.
Hal berikutnya yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa yang dihasilkan sebagai budaya dan peradaban manusia itu, terlahir dalam dua bentuk atau wujud, yaitu:
- Wujud konkrit, tersaksikan atau terindra, yaitu benda-benda buatan atau olahan tangan manusia dan tampilan-tampilan perilaku budaya dan tutur kata atau bahasa.
- Wujud abstrak, seperti: Ilmu pengetahuan, norma-norma, peraturan, undang-undang dan sebagainya.
Baik konkrit maupun abstrak, kalau itu terlahir melalui proses aktivitas jiwa manusia, itu adalah budaya dan peradaban. Maka berlakulah sifat-sifat budaya padanya, antara lain, terbatas ruang dan waktu, tumbuh dan berkembang atau berubah-ubah.
Suatu wujud peradaban akan eksis di bumi dan pantas memiliki legitimasi sebagai Dienul Islam dan Peradaban Islam, apabila kualitas manusia pembangun peradaban tersebut tumbuh dan terbentuk hanya dengan kesucian Asma Allah, sehingga kondisi dan kualitas jiwa dan karya (amal)-nya atara lain tergambar sebagai berikut:
- Yang dominan pada unsur “rasa” pada jiwanya, adalah perasaan CINTA kepada Allah, yang tumbuh dari keterpaduan harap (roja`) dan takut (khosyyah) kepada-Nya. Dan itulah yang disebut IMAN.
- Yang memenuhi unsur “karsa” pada jiwanya, hanya ingin menjadi hamba Allah yang mengabdikan totalitas dirinya untuk mewujudkan program Allah di bumi, untuk memperoleh keridhoan dan kasih sayang yang tulus dari-Nya. Dengan kata lain, dengan bekerja keras mewujudkan Rahman Rahiem Allah di bumi, ia berharap mendapat Rahman Rahiem Allah bagi dirinya secara abadi.
- Unsur “cipta” dari jiwanya, diisi dan diperkuat hanya dengan ilmu Allah, ilmu yang merupakan kebenaran murni dan hakiki yang terakses dari membaca ayat-ayat-Nya yang memenuhi seluruh dimensi ruang dan waktu (pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang), yang senantiasa dipandu dan diterangi dengan petunjuk (hidayah) Allah yang terbaca dari kitab-Nya.
- Keseluruhan aktivitas dan karyanya secara kaaffah, terarahkan, terpimpin dan terkendali dalam suatu institusi Robbani yang dapat muncul dan tumbuh (dibangkitkan) kapanpun di bumi ini, atas kehendak-Nya. Mereka berjihad dengan kerja keras berpandukan Manhaj Risalah berkendalikan syari’ah, melangkah pasti menempuh Jalan Yang Lurus.
- Konsistensinya terhadap keempat unsur diatas, yang secara essensial keempat unsur tersebut adalah iman, Islam (penghambaan diri), ilmu dan amal shaleh, selalu terjaga dengan cara senantiasa menghadirkan Allah dalam hatinya, melalui kontinuitas dzikrullah dan amalan ritual yang senantiasa mereka lakukan (daaimuun – yuhaafidhuun).
Apabila segala fenomena yang muncul di bumi diakses dan diproses dalam jiwa manusia yang berkualifikasi seperti tersebut di atas, maka pastilah bahwa gagasan (ide), karya dan peradaban yang tampil adalah Peradaban Islam, dan tatanan kehidupan yang tegak (eksis) mandiri adalah Dienul Islam.