Pada uraian terdahulu telah terjelaskan dahwa dalam konsep “Sunatullah”, telah “terkitabkan” atau telah menjadi “guratan takdir” aka...
Pada uraian terdahulu telah terjelaskan dahwa dalam konsep “Sunatullah”, telah “terkitabkan” atau telah menjadi “guratan takdir” akan adanya resiko eror atau penyimpangan yang terlahir atau mencuat sebagai pemikiran, gagasan dan perilaku budaya manusia yang menyalahi fitrahnya (Konsep Kalimatullah), yang akan terus berkembang “menulari” jiwa-jiwa manusia dalam lingkup yang semakin meluas. Dan inilah yang menjadi virus-virus syayathin yang merusak kualitas hati dan jiwa manusia sehingga mereka gagal meraih kelayakan untuk menjadi penghuni surga, malah sebaliknya, akan terafkir ke neraka.
Virus-virus syayathin ini tidak bisa dibendung perkembangannya, apalagi dilenyapkan. Yang bisa kita lakukan hanya memasang dan membangun “sistem proteksi” (perlindungan) di dalam jiwa kita yang kokoh dan efektif, sehingga virus syayathin secanggih apapun tidak akan sanggup menembusnya.
Jika upaya ini berhasil dilakukan, barulah manusia bisa mengakses Ilmu-ilmu Allah (Al Haq) dengan bersih dan mulus untuk menjadi stimulus bagi benih Iman yang telah Allah tanamkan pada dirinya, agar jiwanya tumbuh subur sebagai Mukmin dan Hamba Allah yang sholeh, pembangunan Peradaban Robbani di muka bumi.
Dengan penuh Kasih Sayang, sejak dini dengan Kalam-Nya Yang Suci, Allah mengingatkan manusia agar segera (dahulukan) membangun sistem proteksi, kemudian dengan “cermat dan telaten penuh kasih” Allah terus membimbing mereka, bagaimana perlindungan itu dibangun dan difungsikan.
Tetapi Kalamullah Yang Suci itu harus ditransfer ke hati manusia melalui indera dan akalnya. Di sinilah benturannya. Akal dan hati manusia telah sejak lama dan turun temurun terserang virus-virus syayathin itu. Maka seberapapun suci dan ampuhnya konsep Kalimatulah, begitu masuk lewat telinga manusia, langsung diserbu virus. Maka bukan Rahmat dan Syifa yang mereka dapatkan, melainkan malapeta.
Betapa tidak, suatu Piranti Robbani produk samawi yang Maha Canggih dicomot begitu saja komponennya tanpa peduli pola sistem yang mendasarinya, dipasang dan dipadukan seenaknya pada piranti kotor dan murahan produk manusia. Apa yang bisa diharapkan selain kerapuhan dan keterpurukan di dunia, dan adzab yang dahsyat di akhirat.
أَفَتُؤۡمِنُونَ بِبَعۡضِ ٱلۡكِتَـٰبِ وَتَكۡفُرُونَ بِبَعۡضٍ۬ۚ فَمَا جَزَآءُ مَن يَفۡعَلُ ذَٲلِكَ مِنڪُمۡ إِلَّا خِزۡىٌ۬ فِى ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ وَيَوۡمَ ٱلۡقِيَـٰمَةِ يُرَدُّونَ إِلَىٰٓ أَشَدِّ ٱلۡعَذَابِۗ
“Apakah kalian mengimani sebagian Al Kitab dan mengingkari bagian lainnya? Tidak ada balasan bagi yang melakukan itu diantara kalian kecuali kehinaan dalam kehidupan dunia dan di Hari Qiyamat digelandang ke dalam adzab yang paling dahsyat.” (Al Baqoroh : 85)
Siapakah yang dimaksud “kalian” pada ayat di atas? Tentunya mereka yang dimungkinkan mengimani Al Kitab secara parsial, yaitu mereka yang ada berhubungan dengan Al Quran, paling tidak biasa membaca atau mendengarkan Kalamullah. Bukan mereka yang sama sekali tidak punya urusan dengan Al Quran itu, kecuali mengetahui bahwa Al Quran itu Kitab Sucinya orang Islam. Bukan mereka.
Kerancuan sudah terjadi sejak fase awal, yakni penyiapan diri untuk ber-Quran. Ini terjadi ketika merespon peringatan dari Allah berikut:
فَإِذَا قَرَأۡتَ ٱلۡقُرۡءَانَ فَٱسۡتَعِذۡ بِٱللَّهِ مِنَ ٱلشَّيۡطَـٰنِ ٱلرَّجِيمِ
“Maka apabila kamu membaca Al Quran, perlindungi dirimu dengan Allah dari (bahaya) syetan si pembuat bencana”. (An Nahl : 98)
Ayat di atas mengandung perintah dan petunjuk agar kita membangun perlindungan (proteksi) diri dari bahaya virus syayatin itu. Dan untuk itu, jadikanlah Allah sebagai pelindung dirimu. Tapi karena kemalasan berpikir dan enggan berusaha keras dengan cara yang benar, bagaimana memproteksi diri dengan Allah itu? Maka dicari gampangnya saja: “Biar Allah sajalah diminta melindungi”. (Malah “mempekerjakan” Allah).
Maka petunjuk di atas hanya direspon dengan sebaris “lirik penghantar request” kepada Allah, yang disebut “lafadz taawwudz”, yang terjemahnya dilantunkan secara puitis: “Aku berlindung kepada Allah dari godaan syetan yang terkutuk” . Al Quran dijadikan stimulus ke dalam hati yang mandul, tidak menghasilkan apa yang diharap.
Kita diperintah untuk menjadikan Allah sebagai “sistem perlindungan (proteksi) pada totalitas jiwa kita, bukan hanya sekedar menyampaikan permohonan agar Allah melindungi. Kemudian tentunya muncul lagi petanyaan, bagaimana hal tersubut kita lakukan?
Allah tidak akan membiarkan kita dalam kegelapan dan kebuntuan. Maka pastilah Allah akan terus membimbing manusia secara tuntas. Coba kita ingat kembali Kalamullah berikut:
قَالَ فَبِمَآ أَغۡوَيۡتَنِى لَأَقۡعُدَنَّ لَهُمۡ صِرَٲطَكَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ
“Iblis berkata: “Maka disebabkan Engkau telah pastikan aku sesat, sungguh aku akan tongkrongi untuk (menghalangi) mereka, jalan-Mu yang lurus”. (Al A’rof : 16)
قَالَ رَبِّ بِمَآ أَغۡوَيۡتَنِى لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمۡ فِى ٱلۡأَرۡضِ وَلَأُغۡوِيَنَّہُمۡ أَجۡمَعِينَ (٣٩) إِلَّا عِبَادَكَ مِنۡہُمُ ٱلۡمُخۡلَصِينَ
“Iblis berkata: “Robb-ku, karena Engkau telah pastikan aku sesat, sungguh aku akan hiaskan bagi mereka (kehidupan) di bumi, dan sungguh aku sesatkan mereka seluruhnya. Kecuali hamba-hamba-Mu yang “mukhlashin” diantara mereka”. (Al Hijr : 39-40)
Siasat dan tipuan yang dilancarkan syetan untuk menyesatkan manusia itu suatu strategi berpasangan dengan taktik menciptakan illusi antagonis, yang dimaksud adalah terbentuknya cara pandang manusia berlawanan dengan apa yang sebenarnya. Jalan Allah Yang Lurus dalam pandangan mereka tampak sebagai sesuatu yang penuh dengan hal-hal yang menakutkan, merisaukan, memalukan, aneh (ghorieb), dan sebagainya. Bahkan mereka memandangnya sebagai jalan yang sesat, menyimpang dari “kebenaran”. Karena menurut mereka kebenaran itu adalah apa yang diwarisi dari leluhur mereka turun temurun, dan apa yang dilakukan oleh kebanyak orang.
وَقَالُوٓاْ إِن نَّتَّبِعِ ٱلۡهُدَىٰ مَعَكَ نُتَخَطَّفۡ مِنۡ أَرۡضِنَآۚ
“Dan mereka berkata: “Jika kami mengikuti petunjuk bersama kamu, pasti kami terkucil dari negeri kami...”. (Al Qoshos : 57)
وَإِذَا قِيلَ لَهُمۡ ءَامِنُواْ كَمَآ ءَامَنَ ٱلنَّاسُ قَالُوٓاْ أَنُؤۡمِنُ كَمَآ ءَامَنَ ٱلسُّفَهَآءُۗ أَلَآ إِنَّهُمۡ هُمُ ٱلسُّفَهَآءُ وَلَـٰكِن لَّا يَعۡلَمُونَ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah seperti berimannya orang-orang itu” Mereka menjawab: “Akankah kami beriman seperti berimannya orang-orang bodoh itu”. Ketahuilah, sesunguhnya merekalah orang-orang bodoh itu, tetapi mereka tidak mengerti”. (Al Baqoroh : 13)
Ke arah lain, syetan menghiasi jalan yang menyesatkan, sehinga dimata kebanyakan manusia tampak bagus, terpuji dan menarik. Sehingga tanpa berpikir cermat dan tanpa mengukur segalanya dengan standar nilai kebenaran yang sah dari dan diakui Allah, mereka beramai-ramai dan dengan bangga hati memilih jalan tersebut.
Mereka cukup yakin bahwa “jalannya” itu benar, kalau mereka telah merasa menjauhi perbuatan maksiat, dan peringatan Allah dalam Al Hijr : 39 itu menjadi mandul tumpul. Hal ini tentunya tidak lepas dari akibat terjemahan Al Quran yang paling banyak beredar di masyarakat, dalam menerjemahkan ayat tersebut pada ruas yang sebenarnya berarti: “Sungguh akan aku hiaskan bagi mereka” (la-uizayyinanna lahum). Di situ diterjemahkan dengan: “Pasti aku akan jadikan mereka memandang baik perbuatan maksiat”.
Apakah ada orang yang memandang baik perbuatan maksiat? Coba tanyakan kepada pemabuk, pencuri, pelacur, pendurhaka orang tua dan pelaku maksiat lainnya, apakah menurut mereka perbuatan mereka itu baik? Mereka semua mengakui bahwa semua itu buruk.
Dengan terjemahan tersebut di atas, orang hanya berpikir sebatas amal-amal dan perilaku apa saja yang baik dan terpuji dan mana yang buruk dan maksiat. Dan dalam pandangan kebanyakan orang, perbuatan-perbuatan tersebut di atas sajalah yang maksiat. Kata “maksiat” sudah menjadi bahasa Indonesia, dan yang dimaksud adalah perbuatan yang semacam di atas itu.
Maka tidak akan terpikirkan bahwa pengertian “ma’shiyat” dalam pandangan Allah, juga mencakup pengingkaran atau mengabaikan Risalah dan Amanah Allah, melanggar hukum dan hudud-Nya, mengabaikan petunjuk dan peringatan-Nya dan lain-lain. Pendek kata, keseluruhan unsur dan aspek yang terkait dengan kerangka/landasan ideal, struktural dan kultural yang Allah tetapkan, yang harus mendasari seluruh tatanan dan aktivitas hidup manusia.
Benar dan sesatnya jalan bukan menyangkut akan jenis-jenis atau bentuk amal perbuatan, melainkan menyangkut keberpihakan, missi yang diemban, arah yang dituju (qiblat).
وَلَٮِٕنۡ أَتَيۡتَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَـٰبَ بِكُلِّ ءَايَةٍ۬ مَّا تَبِعُواْ قِبۡلَتَكَۚ وَمَآ أَنتَ بِتَابِعٍ۬ قِبۡلَتَہُمۡۚ وَمَا بَعۡضُهُم بِتَابِعٍ۬ قِبۡلَةَ بَعۡضٍ۬ۚ وَلَٮِٕنِ ٱتَّبَعۡتَ أَهۡوَآءَهُم مِّنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَكَ مِنَ ٱلۡعِلۡمِۙ إِنَّكَ إِذً۬ا لَّمِنَ ٱلظَّـٰلِمِينَ
“Dan kalaupun kamu datang kepada orang-orang yang diberi kitab itu dengan berbagai ayat (argumentasi), mereka tidak akan mengikuti qiblatmu, dan kamu pun bukan pengikut qiblat mereka, dan tidak pula sebagian mereka pengikut qiblat sebagian lainya. Dan kalau kamu mengikuti kemauan mereka setelah datang ilmu (kebenaran) kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu, benar-benar termasuk orang-orang yang dholim”. (Al Baqoroh : 145)
Demikianlah sekelumit kecil dari berbagai tipu daya syayathin menyesatkan manusia. Tidak ada cara yang bisa dilakukan orang untuk memberantas apalagi melenyapkannya, bahkan untuk membendung perkembangan dan gerak mobilitasnya pun, tidak mungkin.
Satu-satunya yang harus dilakukan adalah membangun sistem proteksi (perlindungan) yang benar-benar kokoh, rapat dan berlapis-lapis. Dan itu hanya bisa dilakukan dengan dengan mencari dan mengikuti petunjuk-petunjuk Allah secara bersih dan cermat, tanpa campur tangan sedikitpun atau melibatkan siapapun dalam tataran konsep (Kalimah-Nya) yang sempurna itu. Yang harus kita lakukan hanya mengaplikasikan dan menjalankannya secara tepat dan benar.
Dari petunjuk Allah pada Al Hijr : 40 di atas dijelaskan bahwa manusia yang terlindungi dari serbuan syayathin, dan syetanpun tidak berdaya terhadap mereka, adalah mereka yang meraih kualifikasi “Mukhlashien”
إِلَّا عِبَادَكَ مِنۡہُمُ ٱلۡمُخۡلَصِينَ
“Kecuali hamba-hambamu diantara mereka yang “Mukhlashien” (Al Hijr : 40).
Sayangnya virus-virus syayathin telah demikian intensifnya membuat keparahan dan kepayahan pada pikiran dan hati manusia. Manusia banyak terjebak dalam sebutan dan status formalitas, kurang (bahkan tidak) peduli kepada hakikat dari sebutan dan status itu, realitas yang harus ditampilkan, serta bukti yang harus dimiliki.
Yang penting orang-orang mengakui dan memandang mereka sebagai “Mukmin”, “Muslim”, “Taqwa” dan sebagainya. Lalu mereka akan berusaha dan bertindak keras untuk mempertahankan sebutan dan pandangan tadi. Adapun hakikatnya apa dan bagaimana, mereka tidak peduli. Padahal justru itulah yang dipandang dan dinilai Allah. Hakikat, bukti dan realisasi.
Bahkan lebih parah lagi, bagaimana sebuah status bisa diraih, dianggap cukup dengan tampil sama atau serupa dengan orang-orang yang dianggap penyandang status tersebut. Ibarat seseorang yang ingin jadi Polisi, ia cari saja pakaian seragam polisi, lalu ia pakai berpergian ke mana-mana. Semua orang yang melihatnya akan menyangka dan menyebut dia Pak Polisi, bahkan Pak Polisi yang sebenarnya pun bila ketemu dia akan menyangka rekan sejawatnya. Maka diapun senang dan bangga dengan itu.
Nanti jika pada suatu saat dia harus berurusan dengan yang sebenarnya urusan polisi, baru tahu rasa. Bodoh!
Demikian pula dengan kualifikasi “Hamba Allah yang Mukhlashien”. Mereka pandang sebagai sebuah status atau sebutan yang harus diraih. Dan untuk meraihnya mereka harus bisa seperti orang-orang yang dipandang telah lebih dahulu meraih status tersebut. Siapakah mereka? Itulah mereka, orang-orang sholeh yang telah berprestasi di masa lalu.
Tentunya Allah lebih mengetahui akan fenomena seperti tersebut di atas. Ini bukan barang baru, sejak baheula sudah begitu. Makanya Allah ingatkan kita dengan Kalam-Nya.
وَإِن كَانُواْ لَيَقُولُونَ (١٦٧) لَوۡ أَنَّ عِندَنَا ذِكۡرً۬ا مِّنَ ٱلۡأَوَّلِينَ (١٦٨) لَكُنَّا عِبَادَ ٱللَّهِ ٱلۡمُخۡلَصِينَ (١٦٩) فَكَفَرُواْ بِهِۦۖ فَسَوۡفَ يَعۡلَمُونَ
“Dan pasti mereka akan mengatakan: “Kalau seandainya ada pada kami (kami dapatkan) suatu pelajaran (“fatwa”) dari orang-orang dahulu, pastilah kami menjadi hamba-hamba Allah yang Mukhlashin. Akibatnya merekapun mengingkari Al Quran. Maka suatu saat mereka akan tahu”. (Ash Shoffat : 167 -170)
Lagi-lagi, hyper apresiasi (penghargaan yang berlebihan) terhadap prestasi dan pesona produk orang-orang dahulu menjadi ketergantungan banyak manusia kepada mereka. Tetapi ketika mereka diingatkan agar tidak bergantung kepada selain Allah, mereka memungkiri itu dan tidak merasa demikian. Menurut mereka justru melalui orang-orang dahulu itu mereka berusaha mengenali Allah sedekat-dekatnya. Karena merekalah yang lebih memiliki ilmu tentang itu.
Padahal mereka tidak punya apa-apa kecuali yang Allah berikan kepada mereka pada waktu itu. Sedangkan Allah selalu hadir di hadapan dan di tengah-tengah manusia setiap saat, dan selalu “punya yang baru” untuk mereka, yang original, segar dan aktual. Siapa lagi yang bisa mendekatkan kita kepada Allah yang sudah sangat dekat, bahkan “lebih dekat dari urat leher”?
Memang Allah tidak akan menurunkan lagi Kitab yang baru, tetapi Al Quran itu akan selalu baru dan segar sepanjang masa, tidak akan pernah menjadi “peninggalan masa lalu yang sudah usang” seperti surat kabar atau buah pikiran manusia. Al Quran siap menjelaskan dan menjawab segala fenomena yang akan terus bermunculan silih berganti di muka bumi, sampai balada kehidupan manusia ini berakhir.
Lagi pula jangan dikira bahwa dikalangan mereka dulu itu tidak ada perselisihan. Dan hanya Allah yang berhak memutuskan mana yang benar dalam perselisihan tersebut, bukan hak kita atau siapapun untuk memilih mana yang benar di antara mereka, dan kita tidak akan ditanya tentang urusan mereka. (Silakan baca lagi Al Baqoroh : 141)
Sebenarnya apa yang diutarakan di atas ini adalah fenomena yang nyata yang dicoba dipahami dengan penalaran dan logika sederhana saja. Siapapun tidak sulit memahami demikian. Tapi walau bagaimanapun, jangan sekali-kali merasa cukup sebelum berkonfirmasi kepada Allah lewat ayat-ayat dan Kalam-Nya.
أَلَا لِلَّهِ ٱلدِّينُ ٱلۡخَالِصُۚ وَٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُواْ مِن دُونِهِۦۤ أَوۡلِيَآءَ مَا نَعۡبُدُهُمۡ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَآ إِلَى ٱللَّهِ زُلۡفَىٰٓ إِنَّ ٱللَّهَ يَحۡكُمُ بَيۡنَهُمۡ فِى مَا هُمۡ فِيهِ يَخۡتَلِفُونَۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهۡدِى مَنۡ هُوَ كَـٰذِبٌ۬ ڪَفَّارٌ۬
“Ingatlah kepunyaan Allah itu Dien yang murni (orisinil). Sedangkan orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai “auliya” (dambaan/ketergantungan), (berkata): “Kami tidak mengabdi mereka, melainkan agar mereka mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya. Sesungguhnya Allahlah yang akan memutuskan diantara mereka dalam hal apa yang mereka perselisihkan. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada dia yang pendusta-pemungkir”. (Az Zumar : 3)
Apapun alasan mereka, yang jelas Allah telah menilai itu sebagai tindakan menduakan Allah, menjadikan yang selain Allah sebagai “Auliya” (tambatan hati), telah mengusik “kecemburuan” dan kemarahan-Nya.
Konsep yang terbentuk pada pemikiran orang banyak jadi kacau dan semerawut ketika penerjemahan ayat-ayat Al Quran diubah-ubah dan direkayasa. Karena terjemahan ke dalam “Bahasa kaumnya” itulah yang terakses oleh pikiran dan hati manusia.
Peringatan dari Allah pada Ash Shoffat : 168-169 di atas, pada terjemahan versi Depag, lagi-lagi direkayasa dan dipermak habis. Kita cermati sekali lagi.
لَوۡ أَنَّ عِندَنَا ذِكۡرً۬ا مِّنَ ٱلۡأَوَّلِينَ (١٦٨) لَكُنَّا عِبَادَ ٱللَّهِ ٱلۡمُخۡلَصِينَ
“Kalau saja pada kami ada sutu ajaran (“dzikron”) dari orang-orang dahulu, pasti kami akan menjadi hamba-hamba Allah yang “Mukhlashin”
(Kata “mukhlashin” sebaiknya tidak diterjemahkan dulu –“yang dimurnikan”- karena rentan terjadinya miskonsepsi).
Sesungguhnya dengan terjemahan apa adanya, tanpa reka-reka, seperti di atas, sangat jelas memberi petunjuk. Hanya tersisa pertanyaan: “Apa (siapa) yang dimaksud “Mukhlashin” (yang kebal terhadap virus-virus syayathin) itu. Dan Allah akan terus menunjukkannya sampai tuntas. Tetapi ada terjemahan versi Depag justru ditambah dan direka-reka hingga menjadi:
“Kalau sekiranya di sisi kami ada sebuah kitab dari (kitab-kitab yang diturunkan) kepada orang-orang dahulu, sungguh kami akan menjadi hamba-hamba Allah yang dibersihkan (dari dosa).”
Dengan memalingkan arti kata “dzikron” menjadi “kitab” dan menambahkan beberapa kata (frase) yang dikemas dalam tanda kurung, konsepsi yang terjadi berubah sangat jauh dari yang semestinya.
Tidak bisa dipungkir bahwa penerjemah (yang mungkin selalu mengkonsumsi ajaran orang-orang dahulu) ingin mengelak dari tudingan Allah, dan melemparkannya kepada orang (kelompok) lain yang menganut Kitab Suci selain Al Quran. Di balik terjemahan yang demikian itu, mereka ingin mengatakan bahwa yang dituding Allah itu dalah orang-orang non Muslim. Yahudi, Nasrani, Hindu, Budha dan lain-lain, yang kitab anutannya bukan Al Quran. Memalukan.
Allah telah mengingatkan bahwa Iblis telah mengakui hanya Al Mukhlashin saja yang bisa luput dari tipuan mereka. Kemudian Allah menegaskan pula bahwa syetan itu tidak akan bisa berbuat apa-apa kecuali kepada orang yang mengikutinya dan mereka semua akan menjadi pengisi jahannam.
إِنَّ عِبَادِى لَيۡسَ لَكَ عَلَيۡہِمۡ سُلۡطَـٰنٌ إِلَّا مَنِ ٱتَّبَعَكَ مِنَ ٱلۡغَاوِينَ (٤٢) وَإِنَّ جَهَنَّمَ لَمَوۡعِدُهُمۡ أَجۡمَعِينَ
“Sesungguhnya hamba-hambaku itu, kamu (iblis) tidak akan berdaya atas mereka, kecuali terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang sesat. Dan sesungguhnya jahannamlah yang diancamkan kepada mereka semua”. (Al Hijr : 42 - 43)
Maka dari itu, tidak ada peluang lain untuk selamat dari penyesatan syayathin, kecuali bisa mencapai kualifikasi Mukhlashin. Oleh sebab itu kita harus sungguh-sungguh mencari petunjuk secara tuntas untuk dapat mengetahui siapakah Al Mukhlashin itu, dan bagaimana jalan untuk mencapainya.
Mengingat nasib manusia di Hari Akhir itu bersifat mutlak dan final, serta tidak ada lagi upaya yang bisa dilakukan, maka jawaban atas pertanyaan tadi harus benar-benar meyakinkan berdasarkan bukti-bukti yang nyata. Jangan sekali-kali berhenti pada jawaban yang hanya bersifat “dhonnu” (perkiraan), atau sekedar mengiyakan apa yang dikatakan orang.
Kita tidak boleh merasa cukup hanya dengan terjemahan yang dipakai depag untuk kata “mukhlashin”, yaitu: “Yang Mukhlis”, yang pengertiannya sangat abstrak dan relatif. Apalagi kata “mukhlish” itu posisinya berlawanan dengan kata Mukhlas-mukhlashin. Mukhlis itu pelaku, “yang memurnikan”, sedangkan “Mukhlas” itu objek penderita, “yang dimurnikan”. Sungguh berlawanan.
Juga tidak hanya dipahami sebagai “ikhlas” yang bahasa Indonesia, yang artinya seputar: sukarela, rela hati, tanpa pamrih, dsb.
Al Quran dikemas dengan Bahasa Arab yang jelas. Tetapi penyampaiannya kepada manusia harus dengan “bahasa kaumnya”, yaitu diterjemahkan.
Dalam menerjemahkan suatu bahasa ke dalam bahasa lain, sering dijumpai sebuah kata yang tidak terdapat (dimiliki) dalam bahasa penerjemah, atau memang karakter dan pola kalimatnya berbeda. Dalam hal begini, tidak boleh menerjemahkan dengan kata yang seadanya asal mirip. Karena akan mengakibatkan miskonsepsi. Akan lebih aman bila terjemahannya itu menggunakan sebuah frase, bahkan bila perlu, sebuah kalimat atau tuturan.
Dalam menerjemahkan kata “Al Mukhlashin”, kita harus mulai dari menelusuri makna kata tersebut dan proses perubahan bentuknya (etimologis dan morpolofgis), kemudian bagaimana Allah menggunakan kata tersebut, agar diperoleh gambaran yang benar, utuh dan bersih tentang konsep yang terkemas dalam terma “Mukhlashin” itu.
Kata dasar dari Mukhlashin adalah “Kholasho” artinya murni, bersih dari unsur apapun yang ditambahkan atau tercampurkan. Dalam bahasa Indonesia “murni” itu termasuk kata sifat. Adapun bentuk kata kerjanya: “memurnikan”, yang dalam bahsa Arab bentuknya menjadi “Akhlasho”.
Perubahan bentuk kata (tashrif) selanjutnya sebagai berikut:
Akhlasho – yukhlishu = Memurnikan (fi’l madli-mdlori’)
Ikhlash = Pemurnian (mashdar) Mukhlish-mukhlishiin = Yang memurnikan (Ism fa’il)
Mukhlash-mukhlashiin = Yang dimurnikan. (Ism maf’ul)
Jelaslah bahwa arti kata “Mukhlashin” adalah “orang-orang yang dimurnikan”. Yaitu orang yang pada dirinya telah berlangsung dan (selalu terjaga) mekanisme “pemurnian” (IKHLASH). Dan ternyata, kata “ikhlash” (bentuk masdar) ini, tidak satupun Allah mengunakannya dalam Al Quran, selain sebagai nama dari sebuah surat yakni “AL IKHLASH”.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terma IKHLASH adalah kemasan atau simbol suatu konsep yang terjabarkan dari formula surat Al Ikhlash.
قُلۡ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ (١) ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ (٢) لَمۡ يَلِدۡ وَلَمۡ يُولَدۡ (٣) وَلَمۡ يَكُن لَّهُ ۥ ڪُفُوًا أَحَدٌ
“Katakanlah!: Dialah Allah satu-satunya. Allahlah (satu-satunya) “Ash Shomad” (Ketergantungan, sandaran, rujukan). Tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada sesuatupun yang setara bagi-Nya.” (Al Ikhlah : 1 – 4)
Ketika Konsep AL IHLASH tersebut telah “terinstal” dan “ter-setup” dengan baik secara utuh dan bersih pada jiwa seseorang, maka ia akan menjadi software yang menjalankan proses pemurnian pada jiwanya, sekaligus perangkat sensor yang akurat terhadap segala masukan (entry) ke dalam jiwanya. Ia akan mampu mendeteksi dan memblokir segala unsur yang bukan dari Allah, bukan oleh Allah dan bukan untuk Allah. Orang-orang yang demikian itulah Al Mukhlashin.
Diperlukan ruang dan waktu yang cukup untuk membuka lebih dalam dan rinci kandungan konsep Al Ikhlash ini. Insyaallah pada kesempatan atau edisi ke depan. Sebelum itu, sekali lagi perlu disadari benar mengenai bahasa, perkakas yang amat vital dalam menjalankan proses berpikir, serta mengemas dan merilis produknya.
Bahasa Indonesia (bahasa kaum kita) berasal dari bahasa Melayu yang bersahaja. Dalam pertumbuhan dan pengayaannya banyak pungutan dari bahasa asing, dan yang terbanyak itu Bahasa Arab, bahasa yang Allah pilih untuk mengemas dan merilis konsep Kalimatullah kepada manusia.
Dalam pemungutan sebuah kosakata dari bahasa asing, tidak selalu utuh berikut konsep yang dikemas dengan kosakata tersebut. Sering pula digunakan untuk keperluan lain, mengemas dan merilis konsep yang berbeda, dan diadaptasi sesuai dengan karakter dan gaya bahasa pemungut. Bahkan tidak jarang kosakata yang padat makna dan konsep, hanya menjadi aksesoris saja pada bahasa kaum yang memungutnya. Hal ini sah-sah saja asal tidak menimbulkan gangguan terhadap bahasa asal dari mana kata tersebut dipungut.
Namun prinsip yang terakhir tadi sangat tidak diperhatikan oleh “Kaum Muslimin Indonesia” dalam memungut Bahasa Al Quran. Salah satu kasus (dari hampir setiap kata dalam konteks Kalimatullah) adalah pemungutan kata “ikhlash”. Dalam bahasa Indonesia kata “ikhlash” mengemas arti: rela, senang hati, menerima baik, tanpa pamrih. Dan ini adalah sah, tidak ada yang mesti disalahkan.
Tapi kemudian kata yang Allah pilih untuk mengemas konsep dalam kandungan Surat Al Ikhlash, diganti dengan kata lain yang dibuat orang, yaitu: “TAUHID”. Dan lebih jauh lagi, dari istilah yang “diciptakan” orang tersebut (fiktif) dan asing bagi Al Quran itu, dijabar uraikan suatu “disiplin ilmu” yang disebut “Ilmu Tauhid”. Lebih jauh lagi, ilmu hasil rekayasa tersebut dipasang pada posisi yang paling strategis dan mendasar pada konsep Dienul Islam. Sebagai “Ushuluddin”, menempati posisi yang sebenarnya posisi Al Ikhlash.
Pada sisi lain, bentuk lain dari kata ikhlas dalam Al Quran, diantaranya mukhlis dan mukhlas, cukup ditanggap (diperspsi dan diapresiasi) sebagai ikhlas yang Bahasa Indonesia itu. Pantas saja jika pada Al Hijr : 40 di atas, mukhlashin diterjamahkan dengan “orang-orang yang Mukhlis”, karena memang bahasa indonesia tidak mengenal bentuk fa’il dan maf’ul.
Di “dunia maya” sekarang ini semakin banyak situs-situs website, setiap orang bisa mengakses dan men-download apapun untuk digunakan apa saja. Tetapi tidak seorangpun dibenarkan campur tangan, mengotak-atik, mengedit muatan dari situs-situs milik orang lain. Dan untuk itu, sudah didesain dan dipasang sistem proteksi. Tapi jika kemudian ada orang yang bisa membobol proteksi tersebut lalu melakukan sesuatu campur tangan terhadapnya, itu sebuah kejahatan.
Sulit dibayangkan seberapa besar nilai kejahatan yang dilakukan orang terhadap Konsep Kalmatullah dan Al Quran. Coba bayangkan, sebuah Piranti Robbani produk Samawi yang suci dan agung, komponen-komponennya dicopot, diganti, diubah, ditambah, direkayasa. Dan siapa yang ”patut diduga” atau “tersangka” melakukan itu? Tidak bisa menuduh siapapun selain mereka yang mengusung dan selalu menggelutinya.
Ketika komponen penting yang berfungsi memblokir syayathin dan menumbuhkan kekebalan (imunitas) pada jiwa manusia itu dicopot dan diganti dengan produk lokal yang sama asing dan beda, maka tak mungkin terbendung lagi serbuan virus-virus syaythin itu ke seluruh relung pemikiran dan hati manusia, laksana kanker ganas.
Tidak ada akibat atau hasil yang ditunggu kecuali malapetaka. Dan belum cukupkah untuk segera menyadari bahwa isyarat-isyarat ke arah itu sudah semakin kerap menggejala?
وَقُلۡ إِنِّىٓ أَنَا ٱلنَّذِيرُ ٱلۡمُبِينُ (٨٩) كَمَآ أَنزَلۡنَا عَلَى ٱلۡمُقۡتَسِمِينَ (٩٠) ٱلَّذِينَ جَعَلُواْ ٱلۡقُرۡءَانَ عِضِينَ (٩١) فَوَرَبِّكَ لَنَسۡـَٔلَنَّهُمۡ أَجۡمَعِينَ (٩٢) عَمَّا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ
“Katakanlah: “Sesungguhnya aku ini pemberi peringatan yang menjelaskan”. Sebagaimana Kami telah menurunkan kepada yang membuatnya terbagi-bagi (terpecah). Yaitu orang-orang yang menjadikan Al Quran berkeping-keping. Maka demi Robbmu, sungguh Kami akan menanyai mereka semua. Tentang apa yang telah mereka lakukan”. (Al Hijr : 89 - 93)
مَا يَنظُرُونَ إِلَّا صَيۡحَةً۬ وَٲحِدَةً۬ تَأۡخُذُهُمۡ وَهُمۡ يَخِصِّمُونَ
“Mereka tidak menunggu apapun, kecuali satu gebrakan saja yang membantai mereka selagi mereka berbantah-bantahan”. (Ya Sin : 49)
Bukan Al Quran itu sendiri yang terganggu, rusak atau terkotori, melainkan pikiran dan hati manusia yang mengaksesnya sudah sangat dipenuhi dengan berbagai produk mereka sendiri yang penuh kerancuan akibat virus-virus syayathin. Maka apa yang terluncur dari mulut-mulut mereka itulah, yang notabene diberi “label” Allah, Al Quran, Al Islam dan sebagainya, yang rusak dan amburadul.
Akibatnya, ummat yang teridharkan dari apa yang diklaim sebagai Dienullah atau Islam itu, sungguh sangat kontradiktif dengan Konsep Kalimatullah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi. Ummat yang penuh dengan nuansa menyedihkan, mengenaskan, memalukan bahkan menyebalkan, menyebar kemarahan dan kebencian orang.
Padahal Amanah yang diembankan itu, menuntut manusia untuk menjadi Khalifah Allah di bumi. Membangun peradaban yang merupakan presentasi Asma Allah, peradaban yang suci, mulia dan berjaya. Menyejukkan, membahagiakan dan menakjubkan. Kenyataannya, justru bangsa-bangsa yang sama sekali tidak melirik Al Quran (tetapi mereka tidak membuat kepalsuan dan kebohongan atas nama Al Quran -dengan label- Islam), mereka itulah yang tampil berjaya, memukau, menakjubkan.
Sementara Ummat Islam, yang mengklaim diri sebagai ummat pilihan yang paling disayang Allah, hampir seluruhnya yang hadir di planet ini, dan khususnya kaum kita ini, hanya bisa tengadah bengong, meneteskan air liur sambil menadahkan telapak tangan sebelah. Ketika kehinaan dalam hidup di dunia ini sudah nyata, lantas apa yang bisa diharapkan di Hari Akhir?