PENDAHULUAN Telah menjadi opini umum dikalangan kaum Muslimin bahwa tidak sembarang orang bisa memahami kandungan Al Qur’an. Mereka...
PENDAHULUAN
Telah menjadi opini umum dikalangan kaum Muslimin bahwa tidak sembarang orang bisa memahami kandungan Al Qur’an. Mereka hanyalah kalangan Ulama Mufassirin (Para Ahli Tafsir) yang telah memiliki Ilmu pengetahuan yang mendalam dibidang Agama Islam. Bahkan didoktrinkan pula bahwa untuk bisa memahami ajaran yang terkandung dalam Al Quran haruslah terlebih dahulu menguasa minimal 12 cabang Ilmu Agama (“12 fann”) secara luas dan mendalam.
Fann-fann (funun) itu antara lain: Nahwu, Shorof, Balaghoh, Manthiq, Fiqih, Ushul Fiqh, Ilmu Tauhid (Ilmu Kalam), Hadits, Ilmu-ilmu Hadits (Mustholah Hadits), Ilmu Tafsir, Asbabun Nuzul, dan lain-lain.
Walaupun tidak diungkapkan secara jahar eksplisit, namun jelas terbaca bahwa yang menjadi inti dari doktrin tersebut adalah, bahwa siapapun tidak boleh memahami Al Quran dengan menyalahi cabang-cabang ilmu tersebut diatas.
Padahal semua cabang ilmu di atas, adalah hasil rumusan para ulama yang bersifat subjektif, kecuali ilmu-ilmu bahasa (nahwu, shorof, balaghoh), yang didasarkan kepada pendapat dan fatwa-fatwa para Ulama itu sendiri, yang derajat kebenarannya sangat nisbi (relatif) dan sarat dengan perselisihan pendapat. Dalam Al Quran maupun pada masa hidup Rosulullah, cabang-cabang Ilmu tersebut tidak dikenal sama sekali.
Lalu atas dasar apa bahwa setiap yang ingin mempelajari dan memahami kandungan Al Quran, tidak boleh menyalahi Ilmu-ilmu buatan para Ulama tersebut di atas.
Sehingga dalam kenyataannya, dalam penerjemahan Al Quran pada buku-buku terjemahan yang menjadi pegangan masyarakat luas, kaidah-kaidah bahasa (nahwu-shorof) dan aspek-aspek kebahasaaan lainnya yang lebih bersifat objektif, bahkan logika dan akal sehat, banyak sekali dilanggar dan diabaikan, untuk bisa menyeret makna Ayat-ayat Al Quran agar sejalan atau tidak menyalahi Ilmu-ilmu karangan manusia tersebut di atas.
Ilmu Nahwu dan shorof itu hanya menjadi senjata kebanggaan mereka untuk menuding pihak lain yang memahami Al Quran berbeda dengan mereka, dengan lecehan: “Belum menguasai Ilmu Nahwu dan shorof secara mendalam sudah berani-berani memahami sendiri kandungan Al Quran, pantas saja nyeleneh”.
Padahal mereka sendirilah yang sangat mengabaikan ilmu-ilmu kebahasaan tersebut. Banyak sekali ayat-ayat yang diterjemahkan dengan tidak menggubris kaidah Nahwu dan Shorof, karena jika Al Quran diterjemahkan dengan berpegang kepada kaidah bahasa secara konsekuen, ilmu-ilmu (doktrin) buatan mereka itu akan terkoreksi dan terpinggirkan.
Memang demikian sebenarnya, jika Al Quran dibersihkan dari penerjemahan yang direka-reka dan dipalsukan, akan ditemukan pembenaran atas fenomena yang terjadi yaitu, pantas saja ilmu-ilmu buatan manusia yang diberi label “Ilmu Agama” itu telah semakin terpinggirkan, kusam dan usang digerus zaman. Sama sekali tidak mengandung keberdayaan dalam membangun dan mengawal peradaban dan keberadaban manusia, yang merupakan misi sebenarnya yang dikandung Al Quran.
“Ilmu Tauhid” dan “Ilmu Fiqh” yang nyata-nyata karangan para Ulama itu, dinyatakan sebagai Aqidan dan Syaria’ah Islam. Selama berabad-abad (bahkan menembus milenium) mempenetrasi dan mendominasi Dienul Islam, mengangkangi hak Allah satu-satunya pemilik “hak paten” atas Dienul Haq konsep samawi ini.
Manusia bisa saja ditipu dan dibodohi, tetapi tidak ada kekuatan apapun yang mampu membendung dan menghentikan Sunnatullah. Paradigma buatan para Ulama yang selama ini mengandangi hati dan pikiran kaum Muslimin, juga akan menemui ajalnya, ambruk digilas Sunnatullah itu.
وَقُلۡ جَآءَ ٱلۡحَقُّ وَزَهَقَ ٱلۡبَـٰطِلُۚ إِنَّ ٱلۡبَـٰطِلَ كَانَ زَهُوقً۬ا
Dan Katakanlah: "Telah datang Kebenaran (Al Haq) dan kebatilan pasti binasa". Sesungguhnya kebatilan itu adalah sesuatu yang pasti binasa. (Al Isro : 81)
Bagaimana mungkin bisa diterima akal sehat bahwa Al Quran Kalamullah yang suci dan sempurna itu harus dijelaskan oleh manusia, apalagi dengan cara penerjemahan dan penjelasan seperti itu, dan harus tunduk kepada “Ilmu-Ilmu” buatan manusia itu. Padahal Al Quran itu “Cahaya Terang Benderang” (nuuron Mubienan), penjelasan atas segala sesuatu (“Tibayaanan li kulli Syai`in”).
Padahal telah berlaku secara nyata dalam kehidupan manusia sendiri, bahwa apapun produk hukum/perundang-undangan yang memerlukan penjelasan, maka yang berhak dan sah membuat penjelasannya adalah pihak yang membuat (mengeluarkan) produk hukum itu sendiri, bukan mereka yang menjadi objek (yang akan diatur) oleh undang-undang tersebut, apalagi secara individual, seberapapun kehliannya dibidang hukum.
Tetapi justru terhadap Al Quran yang amat tinggi dan mulia ini diberlakukan kaidah yang melawan akal sehat. “Produk Samawi” yang Maha Tinggi itu dijelaskan oleh mereka yang akan menjadi objek hukum, yang mesti diatur dengannya. Mungkinkan Allah lebih “primitif” dari manusia?! Subahanallah
Di dalam Al Quran, Allah telah menegaskan bahwa menafsirkan dan menjelaskan Al Quran itu hanyalah hak Allah.
وَلَا يَأۡتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئۡنَـٰكَ بِٱلۡحَقِّ وَأَحۡسَنَ تَفۡسِيرًا
Dan tidaklah mereka datang kepadamu dengan suatu kasus, melainkan Kami datangkan kepadamu penjelasan (tafsir) yang benar dan terbaik. (Al Furqon : 33)
Jelas sekali bahwa “tafsir” itu datangnya dari Allah, dan penjelasan atas Al Quran itu adalah hak dan urusan Allah.
فَإِذَا قَرَأۡنَـٰهُ فَٱتَّبِعۡ قُرۡءَانَهُ ۥ (١٨) ثُمَّ إِنَّ عَلَيۡنَا بَيَانَهُ ۥ
Maka apabila Kami telah membacakannya, ikutilah bacaannya itu. Kemudian tangungan Kami-lah penjelasannya. (Al Qiyamah : 18-19)
Pada ayat yang pertama di atas Allah menegaskan bahwa Allah-lah yang akan mendatangkan penjelasan (tafsir) atas apapun masalah yang didatangkan. Dengan demikian, “tafsir” itu dari Allah bukan dikarang orang. Kemudian pada ayat yang kedua ditegaskan bahwa wewenang Rosul (apalagi yang bukan Rosul) hanya mengikuti bacaan Al Quran sebagaimana dibacakan kepadanya. Adapun penjelasannya itu urusan kemudian dan merupakan tanggungan Allah. Dengan kata lain, suatu saat nanti Allah akan membuat bacaan tadi menjadi terang.
Ketika para ulama mendoktrinkan bahwa Al Quran itu hanya bisa (baca: hanya boleh) dipahami dengan paradigma seperti teruraikan di atas, sebenarnya Allah telah menetapkan berbagai rambu-rambu bagi manusia tentang bagaimana mestinya mereka memposisikan dirinya terhadap Al Quran dan bagaimana mereka berperilaku terhadap Al Quran itu.
Tetapi sebelum membahas lebih jauh tentang rambu-rambu tersebut, perlu dipahami benar tentang dua hal yeng mendasar dari perintah Allah berupa resfon yang dituntut dari manusia, sehubungan dengan diturunkannya Al Quran, yaitu:
- “Mentadabbur Al Quran”, yaitu suatu modus dan proses pembuktian sekaligus menjaga kemurnian bahwa Al Quran itu benar-benar diturunkan dari sisi Allah Robbul Alamien, Pencipta, Pemilik dan Penguasa Alam Semesta.
- Menegakkan Al Quran. Suatu keniscayaan karena Allahlah satu-satunya pemilik kedaulatan atas bumi ini, maka adalah merupakan tuntutan Al Haq (kebenaran) bahwa kedaulatan Allah itu tegak di muka bumi. Maka Al Quran adalah Konsep Robbani yang harus ditegakkan.
Berikut paparan singkat (tapi mudah-mudahan jelas) tentang kedua tuntutan yang mendasar tersebut.
Pengertian yang didapat dari kata “tadabbur” adalah “menganalisa dan mengimplementasikan”, yaitu suatu proses dalam konteks “tadbir” yang artinya “penyusunan dan pengaturan”. Dengan catatan bahwa, jika dalam proses tadabbur ini tidak terdistorsi atau terkontaminasi oleh unsur-unsur yang bukan dari Allah, maka Allah menjamin tidak akan dijumpai kontradiksi atau hal-hal yang tidak sinkron (ikhtilaf) di dalamnya. Dan inilah pembuktian yang sangat elegan bahwa Al Quran benar-benar berasal dari Dzat Maha Pencipta, Dia yang menciptakan alam semesta ini.
Allah tidak “mendoktrin” manusia untuk percaya saja bahwa Al Quran itu Kalamullah, tanpa bisa (boleh) menggunakan pengamatan dan penalarannya, yang merupakan pemberian Allah juga, melainkan dengan menantang manusia untuk membuktikannya dengan pengamatan dan penalarannya dalam proses tadabbur itu. Dienullah (Dienul Islam) bukan suatu (sejenis) “kepercayaan” melainkan suatu konsep hidup berdasarkan Ilmu (sains) yang terbuktikan kebenarannya dengan fakta-fakta.
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلۡقُرۡءَانَۚ وَلَوۡ كَانَ مِنۡ عِندِ غَيۡرِ ٱللَّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ ٱخۡتِلَـٰفً۬ا ڪَثِيرً۬ا
Maka Apakah mereka tidak mentadabbur Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapati banyak ikhtilaf (hal tidak sinkron) di dalamnya. (An Nisa : 82)
Dari proses tadabbur ini, secara berangsur dan bertahap akan diperoleh berbagai petunjuk yang kaaffah dan komprehensif bagi manusia dalam membangun kehidupan dan peradaban untuk meraih kemajuan, kebahagiaan dan keselamatan (kebaikan di dunia dan di akhirat).
يَهۡدِى بِهِ ٱللَّهُ مَنِ ٱتَّبَعَ رِضۡوَٲنَهُ ۥ سُبُلَ ٱلسَّلَـٰمِ وَيُخۡرِجُهُم مِّنَ ٱلظُّلُمَـٰتِ إِلَى ٱلنُّورِ بِإِذۡنِهِۦ وَيَهۡدِيهِمۡ إِلَىٰ صِرَٲطٍ۬ مُّسۡتَقِيمٍ۬
Dengan (kitab) Itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhoan-Nya, jalan-jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus. (Al Maidah : 16)
Dengan didapatnya kejelasan petunjuk dari Al Quran, atau konsep hidup Robbani itu telah dipahami sebagi Ilmu dan pedoman hidup, belum berarti bahwa Al Quran itu telah memberi manfaat kepada manusia. Untuk mendapatkan nilai guna dan manfaat dari Al Quran, yang pada intinya adalah sebagai Rahmat bagi manusia dan seluruh alam, maka Al Quran harus ditegakkan. Bukan sekedar dimiliki sebagai ilmu dan anutan, apalagi sekedar bacaan sakral yang mentradisi. Jika tidak ditegakkan, maka tidak ada nilai manfaat apapun yang didapat.
قُلۡ يَـٰٓأَهۡلَ ٱلۡكِتَـٰبِ لَسۡتُمۡ عَلَىٰ شَىۡءٍ حَتَّىٰ تُقِيمُواْ ٱلتَّوۡرَٮٰةَ وَٱلۡإِنجِيلَ وَمَآ أُنزِلَ إِلَيۡكُم مِّن رَّبِّكُمۡۗ وَلَيَزِيدَنَّ كَثِيرً۬ا مِّنۡہُم مَّآ أُنزِلَ إِلَيۡكَ مِن رَّبِّكَ طُغۡيَـٰنً۬ا وَكُفۡرً۬اۖ فَلَا تَأۡسَ عَلَى ٱلۡقَوۡمِ ٱلۡكَـٰفِرِينَ
Katakanlah: "Hai ahli Kitab, kamu tidak pada suatu (perolehan nilai) apapun sehingga kamu menegakkan Taurat, Injil, dan apa-apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu". Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu (Rosul) dari Tuhanmu akan menambah pelanggaran dan kekafiran pada kebanyakan dari mereka (Ahlul Kitab); maka janganlah kamu bersedih hati atas orang-orang yang kafir itu. (Al Maidah : 68)
Wujud nyata dari penegakkan Al Quran itu tiada lain adalah menegakkan Dienullah. Yaitu membangun kehidupan manusia berdasarkan konsep Kalimatullah, meliputi tiga aspek yaitu:
- Aspek IDEAL, yaitu Al Haq (kebenaran haqiqi) mendasari seluruh pandangan dan tujuan hidup (cita-cita),
- Aspek STRUKTURAL, yaitu tatanan struktur sosial dalam sosok Ummatan Wahidah,
- Aspek KULTURAL, yaitu tampilan peradaban dan keberadaban yang menampilkan pesona Asma Allah, Tasbih, Tahmid dan Takbir ( Suci, Mulia dan Menakjubkan).
Menegakkan Dienullah inilah yang Allah amanahkan kepada para Rosul-Nya, sebagaimana Kalam-Nya:
شَرَعَ لَكُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِۦ نُوحً۬ا وَٱلَّذِىٓ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ وَمَا وَصَّيۡنَا بِهِۦۤ إِبۡرَٲهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰٓۖ أَنۡ أَقِيمُواْ ٱلدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُواْ فِيهِۚ كَبُرَ عَلَى ٱلۡمُشۡرِكِينَ مَا تَدۡعُوهُمۡ إِلَيۡهِۚ ٱللَّهُ يَجۡتَبِىٓ إِلَيۡهِ مَن يَشَآءُ وَيَہۡدِىٓ إِلَيۡهِ مَن يُنِيبُ
Dia telah mensyari'atkan bagi kamu dari agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah Ad Dien (agama) dan janganlah kamu berpecah belah di dalamnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik apa yang kamu seru mereka kepadanya. Allah merekrut kepada agama itu orang-orang yang dikehendaki-Nya dan menuntun ke dalamnya orang-orang yang kembali (kepada fitrahnya). (Asy Syuro : 13)
Proses penegakkan Dienullah ini berjalan secara bersamaan (simultan) dengan proses tadabbur Al Quran. Seiring Allah menjadikan ayat-ayat Al Quran menjadi terang secara berangsur-angsur (bagian demi bagian), (sebagaimana Allah menerangi bumi yang gelap gulita di malam hari, mulai dari terbit fajar shiddiq kemudian secara berangsur semakin terang benderang), seiring dengan itu pula proses tegaknya Dienullah berlangsung, mulai dari fase “embrio” (tunas) kemudian tumbuh dan semakin tumbuh ibarat sebuah pohon.
أَلَمۡ تَرَ كَيۡفَ ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلاً۬ كَلِمَةً۬ طَيِّبَةً۬ كَشَجَرَةٍ۬ طَيِّبَةٍ أَصۡلُهَا ثَابِتٌ۬ وَفَرۡعُهَا فِى ٱلسَّمَآءِ (٢٤) تُؤۡتِىٓ أُڪُلَهَا كُلَّ حِينِۭ بِإِذۡنِ رَبِّهَاۗ وَيَضۡرِبُ ٱللَّهُ ٱلۡأَمۡثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَذَڪَّرُونَ (٢٥) وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيثَةٍ۬ كَشَجَرَةٍ خَبِيثَةٍ ٱجۡتُثَّتۡ مِن فَوۡقِ ٱلۡأَرۡضِ مَا لَهَا مِن قَرَارٍ۬
- Tidakkah terpikir olehmu bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimah (konsep hidup) yang baik itu seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan pucuknya di langit.
- Pohon itu mendatangkan manfaatnya setiap saat dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia, mudah-mudahan mereka mengambil pelajaran.
- Dan perumpamaan kalimah (konsep hidup) yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah tercabut dari permukaan bumi; tidak punya kemantapan sedikitpun (labil). (Ibrahim : 24-26)
ذَٲلِكَ مَثَلُهُمۡ فِى ٱلتَّوۡرَٮٰةِۚ وَمَثَلُهُمۡ فِى ٱلۡإِنجِيلِ كَزَرۡعٍ أَخۡرَجَ شَطۡـَٔهُ ۥ فَـَٔازَرَهُ ۥ فَٱسۡتَغۡلَظَ فَٱسۡتَوَىٰ عَلَىٰ سُوقِهِۦ يُعۡجِبُ ٱلزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِہِمُ ٱلۡكُفَّارَۗ
Demikianlah perumpamaan mereka (Rosul bersama pengikutnya) dalam Taurat dan perumpamaan mereka dalam Injil. Yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, lalu tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah ia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menakjubkan penanam-penanamnya, agar dengan mereka Allah membuat jengkel orang-orang kafir. (Al Fath : 29)
Dari petunjuk ayat-ayat di atas jelaslah bahwa Dienullah itu berupa sesuatu yang hidup, sesuai pula dengan Kalam-Nya berikut ini:
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱسۡتَجِيبُواْ لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمۡ لِمَا يُحۡيِيڪُمۡۖ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ يَحُولُ بَيۡنَ ٱلۡمَرۡءِ وَقَلۡبِهِۦ وَأَنَّهُ ۥۤ إِلَيۡهِ تُحۡشَرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang menghidupkanmu. Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah mendinding (menyekat) antara seseorang dengan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan. (Al Anfal : 24)
Keimanan dan keIslaman yang Rosul serukan kepada manusia adalah sesuatu yang akan “menghidupkan” mereka. Terkait dengan itu, Allah memberitahukan bahwa Dia mendinding (menyekat) antara seseorang dengan hatinya. Sehingga kalaupun mereka hidup, belum berarti hatinya pun hidup.
أَوَمَن كَانَ مَيۡتً۬ا فَأَحۡيَيۡنَـٰهُ وَجَعَلۡنَا لَهُ ۥ نُورً۬ا يَمۡشِى بِهِۦ فِى ٱلنَّاسِ كَمَن مَّثَلُهُ ۥ فِى ٱلظُّلُمَـٰتِ لَيۡسَ بِخَارِجٍ۬ مِّنۡہَاۚ كَذَٲلِكَ زُيِّنَ لِلۡكَـٰفِرِينَ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ
Dan apakah seseorang yang keadaannya mati lalu Kami hidupkan dia dan Kami jadikan baginya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu ia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, sama halnya dengan orang yang berada dalam gelap gulita yang sama sekali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu menganggap baik apa yang telah mereka lakukan. (Al An’am : 122)
Jelaslah bahwa Dienullah itu adalah sesuatu yang hidup. Dan memang demikian bahwa setelah bumi yang tadinya mati lalu Allah jadikan hidup dengan didatangkannya air, maka apapun yang muncul di bumi sebagai dari Allah, hanya yang berupa makhluk atau sesuatu yang hidup. Yang dari Allah hanya sesuatu yang hidup, dan segala yang hidup (biota) hanya dari Allah.
Semua tahu bahwa segala yang hidup (biota) adalah bermula dari benih yang hanya Allah yang menyediakannya di bumi, manusia tidak bisa menciptakan benih, kecuali merekayasa benih yang Allah sediakan.
Dienullah yang perwujudannya berupa sosok “Ummatan Wahidah” (ummat yang satu) yang Allah canangkan sebagai “Ummatan Wasatho” (yang disetting secara pas) dan Allah nyatakan sebagai “Khoeru Ummah” (ummat yang unggul), adalah sesuatu yang hidup, yang bermula dari suatu fenomena “pembuahan” (fenomena Nubuwwah) yang mengasilkan benih, kemudian tumbuh suatu “embrio” (cikal bakal atau tunas) yang dengan siraman ayat-ayat Allah yang terang dari waktu ke waktu, menjadi tumbuh berkembang seperti pohon yang baik (Syajaroh Thoyyibah) yang akarnya kokoh, manfaatnya setiap saat sepanjang masa dan “pucuknya di langit” (puncaknya di ketinggian tak terhingga).
Adapun sesuatu yang dibangun dari materi-materi yang dihimpun, kemudian dirakit berdasarkan informasi yang diduga sebagai potret dari “pohon” yang pernah ada di masa lalu (Rosulullah dan orang-orang yang bersamanya), itu adalah pohon tiruan (palsu) buatan manusia. Tanpa disiram tak akan layu, disiram pun tak pernah tumbuh, fungsinya tidak lebih dari sebuah hiasan (bagus dipandang mata). Ayat-ayat Allah tidak dibutuhkan dan tidak berguna. Itulah pohon abadi (syajarotul khuldi) imajinasi dari Iblis yang dipakai menipu Nabi Adam (manusia).
Kalaupun muncul sesuatu yang manampakkan fenomena tumbuh dari sejenis benih hasil rekayasa dan (ada kalanya) ujug-ujug besar, itu adalah syajaroh khobitsah (pohon jelek) yang labil. Itulah pohon yang Nabi Adam (orang-orang Mukmin) dilarang mendekatinya.
Dienul Islam itu sesuatu yang hidup, oleh sebab itu maka proses yang terjadi sejak pemunculan awal, pertumbuhan dan perkembangan sampai pengulangan pemunculannya kembali pun berlangsung persis sebagai layaknya makhluk hidup, yakni tumbuh dari benih yang ditanam, bukan dirakit dengan meniru sesuatu yang dianggap (diduga) potretnya.
Didustakannya Rosul-rosul oleh kaumnya (masyarakatnya) sejak dahulu, tiada lain karena yang mereka sampaikan itu menyalahi potret yang selama ini dipuja dan dibanggakan kaumnya itu. Bedakah memuja potret dengan memuja patung? Kemudian Allah mengingatkan mereka agar membandingkan bahwa yang dari Allah itu akan berjalan menurut qadar yang Allah tentukan dalam penciptaan makhluq-makhluqNya.
وَإِن تُكَذِّبُواْ فَقَدۡ ڪَذَّبَ أُمَمٌ۬ مِّن قَبۡلِكُمۡۖ وَمَا عَلَى ٱلرَّسُولِ إِلَّا ٱلۡبَلَـٰغُ ٱلۡمُبِينُ (١٨) أَوَلَمۡ يَرَوۡاْ ڪَيۡفَ يُبۡدِئُ ٱللَّهُ ٱلۡخَلۡقَ ثُمَّ يُعِيدُهُ ۥۤۚ إِنَّ ذَٲلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٌ۬ (١٩) قُلۡ سِيرُواْ فِى ٱلۡأَرۡضِ فَٱنظُرُواْ ڪَيۡفَ بَدَأَ ٱلۡخَلۡقَۚ ثُمَّ ٱللَّهُ يُنشِئُ ٱلنَّشۡأَةَ ٱلۡأَخِرَةَۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ ڪُلِّ شَىۡءٍ۬ قَدِيرٌ۬
- Dan jika kalian mendustakan, maka (memang) ummat-ummat sebelum kalian juga telah mendustakan. Dan kewajiban Rasul itu, tidak lain hanyalah menyampaikan dengan seterang-terangnya.
- Dan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah memulai penciptaan, kemudian mengulanginya? Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
- Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, lalu perhatikanlah bagaimana Allah memulai penciptaan, kemudian Allah menjadikannya pada kejadian yang akhir. Sesungguhnya Allah Maha menentukan takaran (Qodier) atas segala sesuatu. (Al Ankabut : 18-20)
Ketika orang mengenal suatu makhluk hidup dalam sosok yang dilihatnya saat itu, semua tahu bahwa pada mulanya makhluk tersebut tidak seperti yang terlihat sekarang, melainkan berupa embrio, janin atau tunas semaian. Lalu tampilannya akan berubah dan berkembang seiring umurnya, dan akhirnya mati. Kemudian makhluk sejenis akan muncul lagi berulang-ulang melalui proses yang Allah tetapkan segala takarannya (qodar)nya, antara lain dari benih yang dihasilkan dan ditinggalkan oleh makhluk yang telah ada dan hidup sebelumnya.
Tidak bisa disangkal bahwa yang diajarkan para ulama sekarang ini, untuk menjadi seorang Muslim dan menjadi Ummat Islam, bukanlah dengan ditanamkan benih yang benar kepada mereka, melainkan diperkenalkan sesuatu yang diduga “potret Islam dan Muslimin” belasan abad yang lampau, kemudian ditiru, maka tampillah suatu sosok bangunan yang mati, tampilannya tidak pernah berubah.
Paling-paling jika suatu saat bangunan tersebut dirasakan sudah usang dan ketinggalan zaman, dilakukanlah renovasi bongkar pasang. yang selalu diwarnai konflik dan kericuhan, karena tidak punya “qadar” yang pasti dalam tindakannya itu, dan tidak puguh pula siapa yang berhak melakuakan renovasi bongkar pasang tersebut.
Dengan memahami bahwa proses pemunculan (kebangkitan) Dienullah dan penegakannya yang berlangsung seperti tumbuhnya sesuatu yang hidup, maka mesti dipahami pula bahwa Al Quran (Al Kitab) adalah bagian dari benih untuk dapat bangkit dan tumbuhnya kembali Dienullah di muka bumi. Sudah barang tentu yang namanya benih apapun hanya bisa tumbuh jika kondisinya masih utuh, mulus tidak dirusak apalagi dimasak. Mustahil tumbuh tanaman kacang tanah, jika yang ditanamnya itu kacang rebus, kacang goreng atau kacang asin. Semua itu hanya untuk cemilan atau santapan.
Begitulah Al Quran diperlakukan oleh para ulama. Dengan dalih bahwa Al Quran itu belum jelas dan belum terperinci (Kalau begitu, berarti Al Quran tidak sempurna?!) maka harus “dijelaskan” atau “ditafsirkan”, yang modus operandinya tidak lain adalah: “dikupas, dibedah, dicincang dan dibumbui”. Hancur sudah benih itu!
Hal demikian terjadi karena dipasangnya paradigma bahwa untuk menafsirkan Al Quran harus terlebih dahulu menguasai “12 fan” itu. Dengan kata lain, Al Quran tidak boleh dipahami dengan menyalahi ilmu-ilmu yang dibuat sendiri dan disepakati para Ulama tersebut. Maka apa boleh buat, tidak ada jalan lain kecuali mengobrak-abrik Al Quran itu. Subhanallah…! Memangnya yang menjadi “Tuhannya” itu siapa seeh...?!
وَقُلۡ إِنِّىٓ أَنَا ٱلنَّذِيرُ ٱلۡمُبِينُ (٨٩) كَمَآ أَنزَلۡنَا عَلَى ٱلۡمُقۡتَسِمِينَ (٩٠) ٱلَّذِينَ جَعَلُواْ ٱلۡقُرۡءَانَ عِضِينَ (٩١) فَوَرَبِّكَ لَنَسۡـَٔلَنَّهُمۡ أَجۡمَعِينَ (٩٢) عَمَّا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ
- Dan Katakanlah: "Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan".
- Seperti apa yang telah Kami turunkan (malapetaka) kepada orang-orang yang membagi-bagi (memecah, mencincang)
- (yaitu) orang-orang yang telah menjadikan Al Quran itu terkeping-keping (ambrol)
- Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menuntut mereka semua,
- Dari apa yang telah mereka lakukan itu. (Al Hijr : 89-93)
Sungguh memalukan, para Ulama memberi berbagai catatan kaki pada terjemahan ayat di atas, dan melemparkan peringatan Allah ini kepada kaum Yahudi, kaum ‘Ad dan Tsamud zaman baheula. Padahal mereka tidak punya urusan apapun dengan Al Quran ini.
Dalam kaitan ini antara lain, semua terjemahan ayat-ayat yang dikutip di atas (yang baru sangat sedikit sekali itu) jika dibandingkan dengan terjemahan (berikut catatan kakinya) pada buku terjemahan Al Quran yang beredar di masyarakat, banyak dan mencolok sekali perbedaannya. Silahkan bandingkan dengan jujur, terjemahan mana yang lurus dan tunduk sepenuhnya, dan siapa yang mengotak-atik, mengubah-ubah atau menambah-nambahnya.
Fenomena perilaku para ulama dan kaum Muslimin seperti teruraikan diatas, pada dasarnya disebabkan kurangnya (atau tidak ada sama sekali) pengetahuan yang benar tentang hakikat Al Quran dalam berbagai substansi yang terkait dengannya. Yang ada hanya wacana dan retorika, yang sebenarnya hanyalah fiksi dan persangkaan atau dugaan.
وَمِنۡہُمۡ أُمِّيُّونَ لَا يَعۡلَمُونَ ٱلۡكِتَـٰبَ إِلَّآ أَمَانِىَّ وَإِنۡ هُمۡ إِلَّا يَظُنُّونَ
Dan diantara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al kitab, kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga. (Al Baqoroh : 78)
Seperti biasanya (banyak sekali dilakukan) pada terjemahan Al Quran versi Depag, ditambahkan catatan kaki yang mengatakan bahwa yang dimasud “Al Kitab” pada ayat di atas adalah Taurot dan yang dimaksud “mereka” itu orang Yahudi.
Diakui atau tidak, itu adalah tindakan sok tahu dan memalingkan Al Quran agar mereka terhindar dan tidak menjadi sasaran ayat di atas. Padahal ayat tersebut adalah rangkaian dari sejak ayat 75-nya yaitu:
أَفَتَطۡمَعُونَ أَن يُؤۡمِنُواْ لَكُمۡ وَقَدۡ كَانَ فَرِيقٌ۬ مِّنۡهُمۡ يَسۡمَعُونَ ڪَلَـٰمَ ٱللَّهِ ثُمَّ يُحَرِّفُونَهُ ۥ مِنۢ بَعۡدِ مَا عَقَلُوهُ وَهُمۡ يَعۡلَمُونَ
Apakah kamu masih berharap bahwa mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar Kalamullah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka mengakalinya, sedang mereka mengetahui? (Al Baqoroh : 75)
Allah sama sekali tidak menyebut nama Muhammad, Yahudi dan Taurot pada ayat di atas, seperti pada catatan kaki dari para ulama tentang ayat tersebut. Dengan tidak disebutnya nama-nama diri pada ayat di atas, maka ayat tersebut tetap “hidup” dan bersifat universal, keberlakuan dan aktualitasnya tidak berubah atau berkurang sedikitpun sepanjang masa.
Sebaliknya, dengan diikatkannya (secara ilegal) ayat di atas kepada subtansi-substansi yang sangat terbatas (Muhammad, Taurot dan Yahudi) maka ayat di atas menjadi beku, tidak hidup lagi dan tidak lagi menjadi pedoman operasional, melainkan berubah menjadi “kisah masa lalu” yang kemudian dieksploitasi para ulama untuk menuding dan mendiskriditkan golongan lain. Sama sekali tidak disadari bahwa yang terjadi adalah “jeruk makan jeruk”.
Padahal yang diterangkan dalam ayat di atas adalah sesuatu yang selalu aktual, yakni adanya golongan yang sudah resistan (tidak mempan lagi) seruan kebenaran kepada mereka, disebabkan mereka sudah terbiasa mendengar Kalamullah yang sudah diakali dan diubah-ubah.
Fakta yang sangat nyata dan aktual bahwa yang demikian itu tiada lain adalah kaum Muslimin sendiri dengan para ulamanya. Merekalah yang selama ini selalu mendengar Kalamullah, bukan orang-orang Yahudi atau Nasrani yang sudah tidak pernah “bergaul” dan peduli lagi dengan Kalamullah itu. Dan mereka pulalah (para ulama) yang banyak sekali mengubah-ubah Kalamullah tersebut.
Memang tidak ada yang berani mengubah-ubah Al Quran pada Kalimat-kalimat atau lafadz-lafadz bahasa aslinya (Bahasa Arab). Tetapi Al Quran itu disampaikan dan “bekerja” pada hati dan pikiran manusia dalam bahasa mereka masing-masing (bahasa kaumnya), dengan kata lain, yang dipahami dan berpengaruh terhadap pandangan dan pikiran manusia itu terjemahannya. Maka ketika terjemahannya diubah, pastilah efek yang terjadi pada hati dan pikiran orang yang mendengarnya pun akan berubah atau melenceng.
Adalah fakta yang terlalu nyata untuk bisa dibantah oleh siapapun bahwa amat sangat banyak sekali Ayat-ayat Al Quran yang terjemahnnya diubah-ubah dan direka-reka. Baik dengan cara diterjemahkan dengan arti kata yang lain (mengganti dengan kata yang lain) atau dengan merubah atau menambahkan pada struktur kalimatnya, menyisipkan kata-kata tambahan atau menambahkan keterangan dalam bentuk catatan kaki.
Semua itu dilakukan tanpa dasar kewenangan sama sekali. Dan tidak ada yang bisa membantah adanya pengubahan-pengubahan itu, mereka hanya bisa berhujjah secara apologis dengan mengatakan: “Yang menerjemahkan Al Quran itu bukan orang sembarangan, melainkan orang-orang berilmu, mereka pasti punya alasan untuk melakukan itu”.
Memang benar bahwa memodifikasi atau memalsukan apapun tidak bisa dilakukan oleh orang kebanyakan (awam). Hanya orang-orang yang mengerti (pintar) dan punya kemampuan untuk itu sajalah yang bisa melakukannya. Namun betapapun tidak ada satu alasan pun yang bisa dipakai oleh siapapun untuk mengubah-ubah dan memodifikasi Al Quran. Kemudian orang-orang kebanyakan itulah yang menjadi pihak yang tertipu dan menjadi pihak yang paling menderita karenanya.
Jangan pernah berpikir bahwa Al Quran yang Agung dan Sempurna itu akan berfungsi lebih efektif dan lebih baik jika diotak-atik dan direka-reka tangan-tangan jahil manusia. Jamahan tangan-tangan kotor dan bodoh dari manusia yang “dholuuman jahuulan”, (amat dholim dan amat bodoh) pasti hanya akan menimbulkan kerusakan dan malapetaka yang besar.
Bahkan tidak kurang kebodohannya jika menjumpai (bagian-bagian) Al Quran yang dirasakan kurang jelas (gelap) lantas mencari sesuatu dari produk manusia untuk membuatnya jadi terang, misalnya Hadits atau fatwa (pendapat) ulama untuk “menolong” Al Quran agar menjadi terang.
Jika seseorang mendapati sebuah lampu listrik (bohlam) yang tidak menyala (gelap) lalu agar menjadi terang dia sorot dengan lampu senter, itu adalah kebodohan yang susah dimaafkan. Padahal seperti itulah orang memperlakukan Al Quran. Karena Al Quran dirasa tidak jelas dan masih bersifat global (mujmal) maka disorotlah dengan berbagai tafsir dan hadis yang produk manusia itu.
Allah menegaskan bahwa semua perilaku manusia yang demikian itu, tiada lain karena mereka sebenarnya tidak sedikitpun memiliki pengetahuan yang benar tentang Al Quran. Apa yang mereka anggap sebagai pengetahuan dan keimanan mereka terhadap Al Quran (Al Kitab) sebenarnya hanyalah cerita-cerita fiksi, persangkaan dan kepalsuan.
وَمِنۡہُمۡ أُمِّيُّونَ لَا يَعۡلَمُونَ ٱلۡكِتَـٰبَ إِلَّآ أَمَانِىَّ وَإِنۡ هُمۡ إِلَّا يَظُنُّونَ (٧٨) فَوَيۡلٌ۬ لِّلَّذِينَ يَكۡتُبُونَ ٱلۡكِتَـٰبَ بِأَيۡدِيہِمۡ ثُمَّ يَقُولُونَ هَـٰذَا مِنۡ عِندِ ٱللَّهِ لِيَشۡتَرُواْ بِهِۦ ثَمَنً۬ا قَلِيلاً۬ۖ فَوَيۡلٌ۬ لَّهُم مِّمَّا ڪَتَبَتۡ أَيۡدِيهِمۡ وَوَيۡلٌ۬ لَّهُم مِّمَّا يَكۡسِبُونَ
Dan diantara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al kitab, kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga. Maka kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, kemudian mereka mengatakan: “Ini dari sisi Allah” agar dengan itu mereka membeli suatu nilai yang sedikit. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka akibat yang mereka tulis dengan tangan-tangan mereka sendiri dan kecelakaan besarlah bagi mereka akibat apa yang mereka usahakan. (Al Baqoroh : 78-79)
Buanglah jauh-jauh dari pikiran kita bahwa orang-orang yang Allah maksud dalam ayat di atas adalah orang Yahudi, Nasrani, Komunis, Kapitalis atau siapapun. Allah tidak menyebut nama siapa atau golongan manapun. Kita lihat saja dalam kenyataan yang ada, siapa yang melakukan perbuatan yang Allah sebutkan diatas, yaitu: “Menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, kemudian dikatakan “Ini dari sisi Allah”.
Dari jutaan judul buku (kitab) yang ditulis orang di manapun, tidak ada satupun yang dinyatakan “Ini dari sisi Allah” kecuali ketika yang ditulis dan dibukukan itu Al Quran. Semua orang yang menganutnya merasa mendapat Al Kitab dari Allah, mendapat petunjuk, perintah, larangan dan sebagainya, karena Al Kitab yang ada padanya itu dari sisi Allah untuk semua manusia.
Tambahan pula, pada jilid (cover) kitab tersebut ditulis: “AL QURANUL KARIEM”. Dengan menggunakan ism ma’rifah (definite), maka terkandung pengertian yang definitif (tertentu sebagai yang dikenal) yaitu: “Inilah Dia Bacaan Yang Mulia Itu”. Sedangkan di dalam Al Quran itu sendiri Allah menggunakan ism nakiroh (indefinite) yaitu: “QURANUN KARIEM” yang artinya adalah: “suatu bacaan Yang Mulia”
Memang tidak ada larangan (walaupun tidak ada perintah) untuk menuliskan Al Kitab, bahkan itu bisa menjadi salah satu bentuk kontribusi untuk tetap terpelihara dan lestarinya Al Quran dalam kehidupan manusia sampai kiamat. Tetapi jangan lantas dikatakan “Ini dari Sisi Allah”, sehingga semua orang yang mendapatkannya merasa “kegeeran” mendapatkan Kalamullah. Allah berbicara kepada mereka, memberi petunjuk, perintah, larangan dan sebagainya.
Akibat lebih jauh, semua orang merasa berhak mengupas, membedah, mencincang dan membumbuinya, kemudian menyajikannya kepada orang banyak sebagai santapan (rohani). Maka terjadilah kompetisi sosial dalam ber-Quran, yang pada gilirannya memunculkan kalangan elit “Quranis” yang meraih status sosial terhormat (Tsamanan Qolilan) sebagai Ulama dan kalangan awam yang menjadi pengikut mereka dalam berbagai golongan (firqoh), yang satu sama lain berbeda pendapat, bersaing bahkan bermusuhan.
Allah mengingatkan manusia akan fenomena seperti itu dengan Kalam-Nya:
ذَٲلِكَ بِأَنَّ ٱللَّهَ نَزَّلَ ٱلۡڪِتَـٰبَ بِٱلۡحَقِّۗ وَإِنَّ ٱلَّذِينَ ٱخۡتَلَفُواْ فِى ٱلۡكِتَـٰبِ لَفِى شِقَاقِۭ بَعِيدٍ۬
Yang demikian itu (keterangan pada ayat-ayat sebelumnya) adalah karena Allah telah menurunkan Al kitab dengan membawa kebenaran; dan sesungguhnya orang-orang yang berselisih dalam (ber) Al kitab itu, benar-benar berada dalam penyimpangan yang amat jauh. (Al Baqoroh : 176)
Allah tidak pernah menurunkan Al Kitab (Al Quran) sebagai suatu (dalam bentuk) tulisan, apalagi menggandakannya lalu menyuruh Malaikat membagikannya kepada manusia. Dan juga tidak pernah memerintah Rosul untuk menuliskannya, dan tidak pula memerintah manusia baik langsung maupun melalui perintah RosulNya untuk menuliskan Al Kitab itu.
Sesuai dengan martabat Allah yang Maha Tinggi dan Maha Bijaksana, maka dalam menyampaikan Kalam dan urusan-Nya kepada manusia hanya menggunakan tiga cara yang layak bagi-Nya:
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُكَلِّمَهُ ٱللَّهُ إِلَّا وَحۡيًا أَوۡ مِن وَرَآىِٕ حِجَابٍ أَوۡ يُرۡسِلَ رَسُولاً۬ فَيُوحِىَ بِإِذۡنِهِۦ مَا يَشَآءُۚ إِنَّهُ ۥ عَلِىٌّ حَڪِيمٌ۬
Dan tidak akan terjadi pada seorang manusiapun bahwa Allah berbicara (berkalam) kepadanya, kecuali secara wahyu atau dari balik hijab (tabir) atau dengan melepas seorang Rosul, lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. (Asy Syuro : 51)
Memerintah atau melarang lebih tinggi statusnya (lebih definitif) dari sekedar berbicara. Jika berbicarapun tidak, apalagi memerintah atau melarang dan sebagainya.
Dari ayat di atas setiap orang harus menyadari, mengingat-ingat barangkali lupa, apakah ia pernah merasa bahwa Allah menyampaikan sesuatu kepadanya dengan salah satu cara seperti diatas, yaitu:
- Menerima dari Allah secara wahyu (pewahyuan), atau
- Kontak langsung (personal) dari balik hijab, atau
- Menerima sesuatu yang disampaikan melalui seorang Rosul-Nya, (bukan melalui atau perantaraan yang lain)
Jika ketiganya berjawaban “tidak”, mesti disadari bahwa sebenarnya Allah tidak bertutur apapun kepada mereka, apalagi mengatur, memerintah atau melarang. Dengan kata lain, tidak ada satupun Kalamullah yang sampai kepadanya, karena Al Kitab tertulis yang ada pada mereka itu bukan dari Allah. Allah tidak pernah menggunakan cara seperti itu.
Mudah-mudahan masih tersisa di hati manusia suatu sikap tawadhu, merendah dan ketundukan hati untuk munculnya pertanyan di atas, dan masih merasa perlu mengetahui apa dan bagaimana sebenarya AL KITAB dan WAHYU itu. Dua terminologi Robbani yang makna dan pengertiannya selama ini disembunyikan dan dipalsukan. Karena jika telah merasa cukup mengetahui dan tidak merasa perlu lagi mencari tahu, Allah memastikan bahwa mereka yang demikian itu akan terperosok pada kesesatan.
كَلَّآ إِنَّ ٱلۡإِنسَـٰنَ لَيَطۡغَىٰٓ (٦) أَن رَّءَاهُ ٱسۡتَغۡنَىٰٓ
- Awaslah ! Sesungguhnya manusia itu pasti melanggar batas,
- Karena memandang dirinya sudah cukup. (Al Alaq : 6-7)
Bicara soal kecukupan yang disinggung pada ayat di atas, yang kaitannya dengan pelanggaran yang dilakukan manusia, tentunya kecukupan yang dimaksud adalah merasa cukup dalam hal pengetahuan tentang pentunjuk jalan hidup yang ditempuh. Merasa sudah benar, amalnya sudah baik dan sebagainya. Tetapi dengan terjemahan versi Depag yaitu: “karena melihat dirinya serba cukup” , maka konotasi atau kesan yang ada adalah kecukupan akan segala kebutuhan hidup (material). Lagi-lagi sasaran peringatan Al Quran jadi melenceng.
Orang-orang yang sebenarnya menjadi sasaran peringatan dari Allah tersbut jadi tetap lengah dan tidak tersadarkan, karena mereka tidak rumasa menganggap dirinya telah “serba cukup”.
Padahal tentang perasaan sudah cukup dalam hal pedoman dan jalan hidup Allah mengingatkan pula akan sikap mental yang “istaghna” yang menyesatkan, antara lain:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمۡ تَعَالَوۡاْ إِلَىٰ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَإِلَى ٱلرَّسُولِ قَالُواْ حَسۡبُنَا مَا وَجَدۡنَا عَلَيۡهِ ءَابَآءَنَآۚ أَوَلَوۡ كَانَ ءَابَآؤُهُمۡ لَا يَعۡلَمُونَ شَيۡـًٔ۬ا وَلَا يَہۡتَدُونَ
Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". Mereka menjawab: "kecukupan kami adalah apa-apa yang kami dapati sebagai kebiasaan Bapak-bapak kami ". Dan Apakah (juga) walaupun Bapak-bapak mereka itu tidak mengetahui suatu apapun dan tidak mengikuti petunjuk? (Al Maidah : 104)
Bisa jadi bahwa mereka merasa cukup dengan mengikuti saja Bapak-bapak (pendahulu) mereka itu, karena menganggap bahwa Bapak-bapak mereka itu telah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan telah mengikuti Rosul. Padahal mereka tidak mengetahui apapun tentang apa yang diturunkan Allah itu dan demikian pula tentang Rosul. Kalaupun mereka merasa telah punya pengetahuan tentang itu, namun kenyataannya mereka tidak memiliki bukti apapun yang memastikan bahwa pengetahuan mereka itu benar.
Begitu kuatnya fanatisme mereka terhadap Bapak-bapak mereka itu, sehingga walaupun dibacakan ayat-ayat dan fakta-fakta yang begitu jelas dan nyata, mereka tetap tidak mau menerima sebelum mendapat konfirmasi (pembenaran) dari Bapak-bapak panutannya itu.
وَإِذَا تُتۡلَىٰ عَلَيۡہِمۡ ءَايَـٰتُنَا بَيِّنَـٰتٍ۬ مَّا كَانَ حُجَّتَہُمۡ إِلَّآ أَن قَالُواْ ٱئۡتُواْ بِـَٔابَآٮِٕنَآ إِن كُنتُمۡ صَـٰدِقِينَ
Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang jelas, tidak ada hujjah (argumentasi) mereka selain dari mengatakan: "Datangkanlah Bapak-bapak kami jika kamu adalah orang-orang yang benar." (Al Jatsiyah : 25)
Sebaliknya walaupun Bapak-bapak mereka itu sama sekali tidak mempunyai bukti-bukti kebenaran, mereka merasa cukup sudah, tidak merasa perlu lagi pembuktian berdasarkan ayat-ayat Allah, sebagaimna Al Maidah : 104 di atas.
Adapun orang-orang yang benar-benar takut akan adzab Allah di Hari Akhir, dimana tidak ada yang bisa menyelamatkan mereka selain Maghfiroh dan Ridho Allah, maka prinsip kecukupan mereka adalah bertawakkal hanya kepada Allah.
حَسۡبُنَا ٱللَّهُ وَنِعۡمَ ٱلۡوَڪِيلُ
Hanya Allahlah kecukupan kami dan sebaik-baiknya Wakiel (pihak yang diserahi segala urusan). (Ali Imron : 173)
Walaupun telah disepakati manusia seisi bumi, mereka masih belum merasa cukup jika belum mendapat kepastian pembenaran dari Allah, melalui ayat-ayatNya. Sebaliknya ketika telah jelas keterangan dari Allah dan ayat-ayat-Nya, maka tidak lagi dibutuhkan tambahan atau penguat dari pihak manapun.
Seluruh fenomena yang terpaparkan di atas, pada dasarnya berpangkal dari ketidak-tahuan manusia akan Hakikat Kitabullah selain fiksi dan kepalsuan, namun mereka tidak pernah menyadarinya karena telah merasa cukup, ”kehidupan beragama” dan “amaliyah ibadah” mereka selama ini baik-baik saja. Jika muncul pihak yang mengoreksi mereka secara tajam, serta merta mereka menuding kalangan tersebut sebagai “sesat”, “menyimpang dari aqidah yang disepakati”
Demi untuk mendapat keselamatan di Hari Akhir, sebaiknya sikap “Istaghna” (merasa sudah cukup) ini dijauhkan, kemudian dengan kerendahan hati, ketundukan dan tawakal terhadap Allah, kita coba telusuri ayat-ayat Allah untuk mencari petunjuk dan pengetahuan tentang apa dan bagaimana sebenarnya WAHYU dan KITABULLAH itu.
Insyaallah ... bersambung seri berikutnya.